Jumat, 01 Agustus 2014

BRIGADIR JENDERAL TNI (Purn) FRANS KARANGAN
Apakah anda pernah mendengar nama ini ?
Figur ini adalah pejuang Toraja pada zaman pergolakan gerombolan. Zaman gerombolan adalah zaman pemberontakan setelah kemerdekaan yang terjadi di Sulawesi Selatan.
Pemberontakan yang terbesar adalah diproklamirkannya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh Letnan Kolonel Kahar Muzakkar sbg pembangkangan kepada Pemerintah atas tdk di akomodirnya seluruh prajurit Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yg dipimpinnya menjadi Brigade Hasanuddin, yg kemudian menjadi cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin.
Hanya sekitar 30 % pasukan KGSS pimpinan Kahar Musakkar yg memenuhi syarat kemiliteran tertampung di Brigade Hasanuddin, di antaranya Andi Selle dan Andi Sose.
1. Pemaksaan Agama oleh DI/TII:
Sesungguhnya gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar yang berlangsung sekitar 15 tahun (1950-1965) di Sulawesi Selatan, semula tidak membawa warna ideologi agama, namun kemudian setelah beralih menjadi gerakan DI/TII terjadilah gerakan islamisasi dengan paksa. “Tercatat 20.000 orang pengungsi hingga Akhir Oktober 1953 di Luwu dan pinggiran timur dan selatan Toraja akibat islamisasi” (tulis Terance W. Bigalke dlm bukunya Tana Toraja, A Social History of an Indonesian People). Baik orang-orang Kristen maupun pemeluk agama asli menjadi sasaran serangan para gerilyawan. Terjadi banyak penculikan, pembunuhan, pencurian, dan insiden di mana desa-desa dibakar. Pemaksaan masuk Islam terjadi di setiap tempat tersebut, di wilayah barat daya Toraja sendiri mencapai beberapa ribu orang. Para pengungsi dari bagian utara dan barat Luwu mulai mengalir ke Toraja di tahun 1952, dan mencapai puncaknya menjelang akhir 1953, mencapai sekitar 20.000 orang di kota Makale dan Rantepao” (Bigalke, 1981: Hal. 423).
Pada September 1953 Kahar mengeluarkan Piagam Makalua’, yang berisi dasar ideologis gerakan DI/TII. Salah satu poin penting dan kedengarannya baik dalam Piagam tersebut, ialah pernyataan bahwa kebebasan beragama dijamin tetapi hanya untuk agama Islam dan Kristiani. Tetapi apa yang baik di atas kertas, ternyata tidak dilakukan dalam praktek. “Dalam kurun waktu enam bulan semua orang, yang sebelumnya telah diberitahu untuk memilih antara Islam atau Kekristenan, dipaksa menyatakan diri masuk Islam” (Bigalke, 1981: Hal. 424). “Untuk mencapai tujuannya, yaitu mengislamkan orang-orang Kristen, maka mereka (para gerilyawan DI/TII) memisahkan tokoh-tokoh Kristen dengan anggota masyarakat biasa. Tokoh-tokoh Kristen ini disiksa amat sangat supaya mau masuk Islam. Sudah tentu sebagian dari mereka itu akan terpaksa mengaku masuk Islam dan mereka inilah diinstruksikan kembali mengajak orang-orang Kristen lainnya agar masuk Islam saja. Tetapi sebagian dari mereka itu tetap bersaksi bahwa walau dengan pedang sekalipun mereka tidak akan dipisahkan dari Tuhannya. Maka menyusullah syahid-syahid lainnya dalam Gereja Toraja, antara lain Pdt. J. Tawaluyan dan Lumeno, dan J.B. Tangdililing yang dibunuh di Palopo… Pdt. S.Tappil, Guru Injil Baso’ dan 8 orang Kristen Rongkong dibunuh di Masamba…Ds. P.Sangka Palisungan, L. Sodu dan H. Djima’ (keduanya pengantar Jemaat) dibunuh setelah mengalami siksaan yang hebat di Tjappa’ Solo’, berpuluh-puluh lainnya disiksa kemudian dibunuh di Rongkong, antara lain pengantar-pengantar Jemaat: J. Ledo, J. Subi’, Ngila, M. Maddulu, M. Liling dan lain-lain” (Sarira, 1975:45).
2. Kebangkitan kesadaran etnis tahun 1953
Di tengah gelombang ancaman pemaksaan agama oleh DI/TII, terjadilah peristiwa pada bulan April 1953. Andi Sose tampaknya kecewa karena merasa cita-cita perjuangan asli dalam KGSS telah digadaikan oleh Kahar dengan bergabung pada pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Pada Maret 1952 Andi Sose bersama pasukannya berbalik haluan. Pasukannya dijadikan satu batalion TNI dengan nama “Batalion 720”, dan Andi Sose sebagai komandannya diangkat menjadi Kapten. Batalion ini ditempatkan di Tana Toraja. Tetapi tingkah laku anggota Batalion 720 lama-kelamaan membuat masyarakat merasa tidak aman dan mulai resah. Masyarakat mulai menyadari bahwa eksistensi etnis dan budaya Toraja kembali terancam. Situasi ini juga membuat unsur Toraja dalam Batalion 720, yaitu Kompi 2 di bawah Letnan Satu Frans Karangan, semakin menjauh dari Andi Sose. Diam-diam terbentuklah kelompok perlawanan yang memandang diri sebagai penjelmaan To Pada Tindo dari abad ke-17. Situasi genting semakin memuncak ketika tersiar berita bahwa Andi Sose berencana mendirikan mesjid raya di tengah kolam di kota Makale, dan memaksa orang-orang Kristen yang pergi ke gereja pada hari Minggu membawa batu kali ke lokasi itu. Akhirnya pecah konflik yang mencapai puncaknya pada pertempuran 4 April 1954 di Makale, di mana kelompok perlawanan berhasil memaksa Andi Sose dan pasukannya meninggalkan Tana Toraja kemudian diganti Batalio 422 dari Kodam Diponegoro (Bigalke, 1981:408-418). Bigalke menulis, “Sukses perlawanan 4 April itu menaikkan prestise pemimpin-pemimpin Kristen (Gereja Toraja) di Toraja, yang pada gilirannya menjelaskan insiden tersebut sebagai luapan kesadaran etnis. Kekalahan utama sesungguhnya dialami oleh kalangan elit tradisional di selatan (Tallu Lembangna) dan kelompok Muslim sekutu mereka di Makale, yang berpihak pada Andi Sose. Sejumlah dari mereka ini sementara waktu melarikan diri dari Toraja mengikuti pasukan yang mengundurkan diri” (Bigalke, 1981:416).
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja, dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim. Kompi 2 di bawah Frans Karangan ditempatkan di Palu, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758 raider.
3. Peristiwa Tahun 1958:
Pada awal tahun 1958 masyarakat Toraja kembali dikejutkan oleh laporan bahwa pasukan Brawijaya akan ditarik dari Toraja untuk tugas memadamkan pemberontakan Permesta di Minahasa, dan akan digantikan oleh unit-unit R.I. 23, batalion yang dikomandani Andi Sose. Parkindo, partai politik utama di Tana Toraja waktu itu, mengutus delegasi ke Jakarta untuk memprotes penarikan pasukan Brawijaya. Sebuah resolusi bersama dari partai-partai politik di Toraja juga dikirimkan melalui Kepala Daerah kepada Gubernur Sulsel dan Mendagri di Jakarta. Tetapi semua itu gagal mencegah penempatan R.I. 23 di Tana Toraja. Masyarakat Toraja memandang hal ini sebagai penghinaan besar, dan bersiap menghadapinya. Frans Karangan, yang juga merasa khawatir, mengirim pasukan satu kompi di bawah pimpinan Lettu J. Tappang dari Palu ke Toraja. Begitu juga orang Toraja dari unit-unit lainnya dicutikan ke Toraja. Dengan alasan keamanan direncanakan pengungsian penduduk dari kota Makale dan Rantepao ke desa-desa yang aman. Tanggal yang dipilih untuk boikot itu ialah 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional. Ini antara lain untuk menyatakan kepada Pemerintah Pusat bahwa nasionalisme masyarakat Toraja jangan diragukan. Pada peristiwa 1953 simbolisme yang digunakan ialah perjuangan To Pada Tindo. Pappang membentuk apa yang disebut Barisan Komando Rakyat (BKR), yang terdiri dari anggota kompinya, OPD (Organisasi Pertahanan Desa), para pelajar dan penduduk, sebagai persiapan menghadapi serangan R.I. 23 yang dipastikan akan tiba. Setelah terjadi kontak senjata kecil-kecilan, BKR memakai taktik mundur penuh ke Pangala’. Pasukan R.I. 23 maju mengejar seakan-akan tanpa dapat ditahan, sambil membakar lumbung-lumbung desa, rumah-rumah dan sekolah-sekolah. Tersiar desas-desus bahwa para komandan R.I. 23 itu kebal peluru. Yang jelas organisasi mereka lebih unggul dalam hal disiplin dan persenjataan, dibandingkan dengan pasukan BKR yang serba kurang pengalaman bertempur dan persenjataan. Di Pangala’ BKR menghentikan taktik mundur. Tappang mereorganisir pasukannya, dengan mereduksi unit-unit tergabung yang telah bertempur tidak efektif ke dalam unit-unit terpisah: polisi, OPD, penduduk, pelajar, dan kompinya sendiri. Pasukan R.I. 23 yang mengejar dan tiba di Pangala’ dalam keadaan letih tidak meyangka akan menghadapi perlawanan sengit. Pasukan BKR yang mengenal medan membuat taktik mundur, dan pasukan R.I. 23 mengejar. Tanpa mereka sangka unit BKR lainnya memotong mereka dari belakang. Pertempuran sengit itu merupakan kemenangan besar pertama bagi BKR. Pasukan R.I. 23 yang masih tersisa mundur tak teratur, meninggalkan banyak senjata dan lebih dari seratus korban di pihaknya.
Setelah itu pasukan R.I. 23 tinggal terpusat di kota Rantepao dan Makale. Dan pasukan BKR mengadakan tekanan terus-menerus atas mereka. Jalur komunikasi antara kedua kota itu berhasil diputus, sehingga tak ada bala bantuan yang bisa lolos dari Makale ke Rantepao. Akhirnya pasukan yang di Rantepao mengundurkan diri di tengah suatu malam gelap ke Makale lewat La’bo’ - Randan Batu - Sangalla’. Pasukan BKR, yang terlambat mengetahui pelarian itu, mencoba mengejar. Mereka masih berhasil mendapatkan dan menawan barisan belakang. Tiga hari kemudian semua unit R.I. 23 ditarik dari Makale dan meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:436-446).
4. Cikal-bakal Batalion Infanteri Lintas Udara 700/BS
Usai menumpas gerombolan Kahar Musakkar, Batalion 758 pimpinan Frans Karangan dijadikan Battalion Raider Indonesia Timur dgn sebutan Batalion 700/RIT pada tahun 1963. Pada tahun 28 Maret 1967 Batalion 700/RIT berdasarkan SK Panglima ABRI ditetapkan menjadi Batalion Infanteri Lintas Udara 700 BS hinga sekarang.
Atas jasa-jasanya itu patutlah apabila Brigadir Jenderal TNI (Purn) Frans Karangan disejajarkan dengan pendahulunya yaitu TO PADA TINDO, TO MISA' PANGIMPI yang dulu mengusir Tentara Bone dari Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari' Allo...

Selasa, 18 Maret 2014

" LONDE TORAYA "
Londe merupakan karya sastra toraja berbentuk puisi yg berupa pantun. Mnrt kamus Toradja-Indonesia, 1972 (J.Tammu & Van der veen), londe = pantun, ma’ londe = berpantun dan silonde = berbalas pantun.
Londe diangkat dari olah rasa dan pemikiran tentang suatu hal atau maksud. Isinya dapat berupa ungkapan perasaan, nasehat, pendapat, hingga candaan/lelucon.

Karena masyarakat toraja tdk mengenal budaya tulisan, seperti halnya masyarakat bugis-makassar mengenal “lontara bilang”, menjadikan londe hanya sebagai tradisi lisan/tutur yg diwariskan secara turun-temurun.

Londe dilafalkan/disampaikan dengan intonasi suara tertentu mengunakan kalimat-kalimat yang bergaya bahasa metaforik , dan pada umumnya terdiri atas 4 baris kalimat dengan bahasa yg mudah di mengerti.

Karena pesatnya modernisasi dan pengaruh luar terhadap budaya kita maka pada umumnya karya sastra tradisional di berbagai daerah di Indonesia secara perlahan mulai ditinggalkan, termasuk Londe Toraya.

Sungguh sangat disayangkan jika generasi muda toraja yang ada saat ini tidak mengapresiasi serta membangun kesadaran untuk meneruskan warisan luhur para leluhur toraja.

Berikut beberapa contoh londe toraya :

1. Ungkapan perasaan :

La disumpa’ inde lemo,
anna kondi’ pesumpa’
Tang la disumpa’,
anna maillun mata
(Seorang pemuda yg ragu2 ingin menyatakan cintanya tapi tak ada keberanian. Namun jika ia tidak menyatakannya, hatinya terus berdebar-debar sepanjang hari memikirkan sang pujaan tsb).

2. Pendapat :
Da’mu sule massambeko’
ke sumalong-malongko
Kayu sang bengnga’
kukurean sumanga’
(Jika terus berusaha dan tidak pernah menunda-nunda waktu yakin masa depanmu cemerlang).
3. Nasehat :
Da’mu mari’pi ma’dokko,
dio to kasepangan
Ke’de’ko kale’,
mupatarru lalanmu
(Jangan kamu selalu bersantai-santai, bangkitlah dan bekerja keraslah untuk menggapai cita-citamu).
4. Candaan :
Alla’ko kagereng-gereng,
lako manuk lundara
Manda’ rompona
Bintin balabatunna
(Percuma saja kamu mendekati anak gadis itu, karena pasti kamu akan gagal).
5. Ajakan berbalas pantun :

Umbara susi londemu,
pasitempe’ dukami
Anta sisonda
untanan pa’perangi.

Senin, 17 Maret 2014

LEGENDA LAKIPADADA (DAN MUSTIKA KEABADIAN)
Diceriterakan, Puang Tamboro Langi’, raja pertama di Kapuangan Kalindobulanan Lepongan Bulan yg adalah juga leluhur raja-raja di Kerajaan Tallu Bocco yg pertama (Toraja, Luwu, Gowa). Puang Tamboro Langi memperisteri puteri cantik bernama Sandabilik, dan kemudian melahirkan 4 orang anak, yaiutu : Puang Papai Langi’, Puang Maeso, Puang Sandaboro dan Puang Membali Buntu. Puang Sandaboro menikah dengan To Bu’tui Pattung (Ao’ Gading) kemudian lahir LAKIPADADA.
Lakipadada, dalam legenda itu diceriterakan sungguh kaget dan ketakutan dengan meninggalnya orang-orang yg dia sayangi, ibu, saudara perempuan, sadara laki-laki bahkan pengawal dan para hambah-hambahnya satu demi satu meninggal. Sejak saat itu Lakipadada paranoid terhadap maut, sehingga berusaha mencari mustika “tang mate” (hidup abadi) supaya dia bisa hidup kekal, tanpa dihantui kematian.
Pergilah dia mengembara mencari mustika tang mate yang bisa mengekalkan kehidupannya, diantaranya mengarungi teluk bone dengan pertolongan tedong bulaan sakti, mencari Pulau Maniang, tempat yang dianggapnya dihuni oleh seorang kakek tua sakti berambut dan jenggot putih yang diyakini memiliki mustika itu.
Karena kurang kesabarannya, Lakipadada gagal memenuhi persyaratan yang diminta si tua sakti : puasa makan minum dan tidur selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya gagal usahanya mendapatkan tang mate. Tapi dari sini Lakipadada mendapat hikmah yang menyadarkannya bahwa menghindari kematian sama halnya dengan menantang kuasa Tuhan. Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan, walau kadang kejam (kata Betharia Sonata )
Lakipadada kemudian mengembara lagi dengan menumpang bergelantungan di cakar burung Garuda yang membawanya ke negeri Gowa. Disana Lakipadada, yang sudah tercerahkan, menyebarkan hikmah kebajikan dan berhasil mendapat simpari Raja, mengobati dan membantu permaisuri raja melahirkan. Lakipadada diangkat menjadi anak angkat dan Putra Mahkota.
Diakhir cerita Lakipadada memperisteri bangsawan Gowa, kemudian diangkat menjadi raja Gowa, penguasa baru yang bijak. Dia memiliki tiga orang anak, yang kemudian menjadi penerusnya dan mengembangkan kerajaan-kerajaan lain di jazirah sulawesi. Putra Sulung, Patta La Merang menggantinya di tahta Gowa. Putra kedua, Patta La Baritan ditugaskan ke Sangalla, Toraja dan menjadi raja disana. Putra bungsu, Patta La Bunga, menjadi raja di Luwu.
Akulturasi damai. Lakipadada yang berasal dari Toraja berdamai dengan tiga suku lain; belajar hikmah dari Bugis/Bajo (kakek sakti di pulau Maniang), menjadi raja di pusat budaya Makassar, dan mengirim anaknya menjadi Datu di Luwu. Akulturasi ini lah yang mengabadikan darah dan silsilahnya, juga cerita legenda yang mengantarkannya pada kita saat ini, mungkin inilah mustika tang mate yang dimaksudkan, keabadian melalui cerita/legenda.
(Cerita di atas dikutip dari buku : Cerita Rakyat Sulsel karangan B.T. Lembang, penerbit Yayasan Pustaka Nusatama )
LAKIPADADA (UNDAKA’ TANGMATE)
Diulelean kumua den misa’ tu Tomanurun di Langi’ disanga Tamboro Langi’ tu umpobaine misa’ baine ballo disanga Sandabilik. Dadimi tu anakna a’pa’, iamotu: Puang Papai Langi’, Puang Maeso, Puang Sandaboro, sola Puang Membali Buntu. Iatu Puang Sandaboro umpobaine To Bu’tui Pattung (disanga duka Ao’ Gading) anna dadianni tu Lakipadada.
Lendu’ tirambanna tu Lakipadada tonna tiroi tu adinna mate, namangkato mate duka du indo’na. Mataku’ tongan tu Lakipadada tonna tandaimi kumua mintu’ tau lamate nasang. Mukkun bang natangnga’-tangnga’ tu diona kamatean. Katampakanna nara’ta’mi lan penaanna la umpengkullei male undaka’i tu naninna tau tae’ namate. Ke’de’mi ma’dua takin umpokinallo la’bo’ tallu potikna anna male samalena, apa sitonganna tae’ natandai umba tu la nanii undaka’i tu tang mate. Tonna masai-saimo lumingka, nalambiranmi dio misa’ inan tu garonto’ kayu kapua anna torro melayo indeto. Natiromi tu misa’ to matua ma’danggo’ sae umpa’kadai nakua: “E, Lakipadada, umbara la muola ammu saera indete?” Mebalimi tu Lakipadada nakua: “La malena’ undaka’ tangmate.” Nakuami te to matua: “Iake apa iato tu la mudaka’ inang tae’ ammu la unnapparanni, belanna mintu’ ia tolino la mate nasang.”
Namoi dipokadammo susito, apa nang tae’ na sule tu Lakipadada sangadinna napatarru’ lumingka la male undaka’i tu tang mate. Malebangmi la umpellambi’i tu nadaka’na sae lako rampo lako biring tasik. Belanna bo’yo’ liumo, melayomi dio biring tasik. Pakalan saemi ade’ tu tedong bulaan disanga Bulan Panarring, digente’ duka Sangnene’ umpa’kadai nakua: “E… Lakipadada, ammu indera te? Umbara tu musanga la muola? Tae’ sia raka ammu pusamo?” Mebalimi tu Lakipadada nakua: “La malena’ ma’lamban tasik undaka’ tangmate, apa tangla kuatta unnorongi tasik.” Ma’kadami tu Bulan Panarring nakua: “Moraina’ unnoronganku lian te tasik mapulu’ apa la sibasseki’ dolo.” Kadomi tu Lakipadada anna sibasse sola duai kumua: “Iatu tarukna Bulan Panarring iamora tedong tanglanapatobang dikollong, tanglanapalambun dibaroko bati’ siosso’na Lakipadada.” Nasakeimi Lakipadada tu Bulan Panarring naoronganni ullamban tasik mapulu’.
Iatonna rampomo lian, den mi misa’ to torro lan disanga Tolumuran ungkuanni kumua: “E… Lakipadada, apara sae muala ammu rampora inde tondokki?” Nakuami Lakipadada: “Saena’ undaka’ tangmate, ma’dinraka dikka’ mipokadanna’ sia mibenna’ anna tae’ angku mate?” Nakuami Tolumuran mebali: “Ma’dinko diben tu tangmate ke muturu’i sia mupogau’i te apa kupokadangko: Lapitung allo pitung bongiko tae’ ammu lamamma’ sia tae’ duka ammu la menggirik. Na iatu la’bo’ penaimmu la mupadio bang la’pekmu sae lako mangkanna tu pitung allo pitung bongi.”
Napogau’mi Lakipadada tu dipokadanni. Apa mane tallung allo tallung bongi tangmammma’, tae’mi nasa’dingi anna mamma’ sae lako korrok. Tonna tiroi Tolumuran kumua mamma’mo tu Lakipadada, naalami tu la’bo’ penainna nadu’dukki lan mai banuanna anna le’toi tu tampakna namane umpasulei tama banuanna. Meolimi Tolumuran nakua: “E… Lakipadada, millikko.” Apa inang tae’ napasa’ding. Natolei natambai apa tae’ dukapa napasa’ding tu Lakipadada. Ma’pentallunnamira ditambai namane pasa’ding anna sasa millik. Nakuami Tolumuran ungkuanni: “Ma’pari ammu mamma’ra?” Mebali Lakipadada nakua: “Tae’ra kumamma’.” Nakuami Tolumuran: “Du’dukki tu la’bo’mu ammu tiroi tu tampakna. Iake poloi tu tampakna manassa inang mamma’ko.” Nanonokmi Lakipadada tu la’bo’na, apa polo tongan tu potikna. Dikuammi kumua belanna tang mubela unturu’i tu dipokadanna, dadi inang la mateko.
Malemi tu Lakipadada ma’lopi anna malammu’ tu lopinna. Unnorongmi naembonanni uai lako biring tasik. Denmi Langkan Maega sae namale umpentiaranni anna ta’pa dao lolok sendananna Datu dao Gowa dio to’ tondon bubun. Saemi tau unnala uai, natiroi tu Lakipadada dao lolok sendana. Kendekmi tau langngan anna popengkalaoi nasolanni lako Datu. Ba’tu umba sia dikutanni to Lakipadada la dinai untandai tu kadadianna. Ma’katampakanna nakanassaimi Datu kumua misa’ pole’ to kapua tu Lakipadada. Dipasibalimi anakna Datu Gowa anna dadi tu anakna tallu, misa’ torro dio kadatuan Gowa, misa’ sae diong kadatuan Luwu na misa’ sule langngan Toraya.
PADAMOTO, KURRE SUMANGA’

Selasa, 11 Maret 2014

PENGURBANAN MANUSIA (MA’ BARATA) PADA ACARA RAMBU SOLO’ DI TORAJA :
Kurban manusia (Barata) pada upacara Rambu Solo’ di toraja berlangsung hingga masuknya Pemerintah Kolonial Belanda ke Toraja. Pengurbanan manusia itu disebut Ma’ Barata, yakni suatu tradisi yg dilakukan sebagai penghormatan serta sebagai tanda kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan atau pahlawan dalam perang Topadatindo dan perang saudara lainnya pada permulaan abad ke-17. Ma’ Barata bukanlah persyaratan dalam Alukta, tetapi hanya sebagai tradisi sehingga dilarang sejak masuknya Belanda.
Adat Ma’ Barata ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, dimana seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu, menunggu saatnya dipancung. Kurban Barata ini boleh laki – laki atau wanita yang ditangkap saat perang atau jika tidak ada perang maka ditangkap dengan cara “Mangaun” (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo atau para peminpin peperangan lainnya. Menurut kesepakatan Topadatindo yg dipegang oleh penerusnya, yg menjadi korban Barata adalah tawanan dalam perang atau orang – orang yg tidak ikut berpartisipasi dlm persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yg berasal dari daerah “Karunanga”, suatu daerah yg terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yg selalu menjadi buronan pada setiap saat ada rencana Ma’ Barata, itupun melalui pertarungan, karena orang yg diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian.




Oleh karena sering terjadi perkelahian yg hebat dalam menangkap Kurban Barata, maka apabila tdk dpt ditangkap hidup-hidup sering terpaksa hrs dibunuh dan diambil kepalanya untuk dibawa ketempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yg mati itu sudah diberikan Kurban Manusia… sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya. Orang yg diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To dipa’barataan.

Saat ini masih ada tongkonan di Toraja yg menyimpan Kepala/tengkorak Manusia Kurban Barata atau kepala yang dirampas dalam perang saudara, sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan ini adalah turunan pemberani serta leluhurnya dahulu ada yg dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan Penguasa yg Pemberani....
(dari berbagai sumber)….

Senin, 10 Maret 2014

RAMBU SOLO’ DALAM KEYAKINAN ALUK TODOLO
(RELEVANSINYA KINI)

Salah satu budaya toraja yang terkenal dan senantiasa menarik perhatian wisatawan, adalah “rambu solo’” yaitu adat istiadat disekitar upacara kematian dan penguburan. Upacara yang berlatarbelakang kepercayaan politeis ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan sangat bernilai bahkan begitu mengikat masyarakat Toraja. Permasalahan mulai terjadi ketika pemberitaan Injil mulai masuk ke toraja. Perjumpaan ini menyebabkan terjadinya benturan antara kebenaran-kebenaran Kristiani dengan berbagai konsep dan ritual dalam upacara rambu solo’. Ketegangan yang masih terus berlanjut hingga kini menuntut gereja toraja perlu tegas (tidak sinkretis) memikirkan keterlibatannya dalam pemeliharaan kebudayaan toraja. Mana yang perlu dipertahankan dan mana yang harus dihilangkan perlu penjelasan secara komprehensif mengenai upacara rambu solo’ untuk kemudian dapat menolong kita mengambil sikap yang tepat dan benar ditengah-tengah ketegangan yang terjadi.
Untuk menuntun kita memahami mengenai rambu solo’ dalam keyakinan aluk todolo terlebih dulu perlu memahami hal-hal berikut :
1. Tempat Rambu Solo’ dalam Konfigurasi Budaya Toraja
2. Konsepsi Dasar Upacara Rambu Solo’
3. Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
4. Simbol-simbol Upacara Rambu Solo’.

1. TEMPAT RAMBU SOLO DALAM KONFIGURASI BUDAYA TORAJA
Mitos toraja, menceritakan pada mulanya langit dan bumi masih bersatu. Ketika langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga dewa yaitu: Pong Tulak Padang, Pong Bangga-irante, dan Gaun Tikembong. Ketiga dewa ini dikenal sebagai Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan (Tri dewa). Mereka yang menciptakan matahari, bulan dan bintang.
Gaun Tikembong kemudian mengambil sebuah rusuknya dan menjadikan dewa yang disebut: Usuk Sangbaban, yang kemudian kawin dengan Simbolon Manik yang keluar dari batu kemudian melahirkan Puang Matua. Puang Matua kawin dengan Arrang di Batu, dan dari perkawinan inilah Puang Matua melanjutkan proses penciptaan dengan kelahiran delapan orang anak kembar “Sauran sibarrung” (pupulan kembar) yaitu: Datu Laukku sebagai nenek moyang manusia; Allo Tiranda sebagai nenek moyang racun; Laungku sebagai nenek moyang kapas; Pong Pirik-Pirik sebagai nenek moyang hujan; Menturini sebagai nenek moyang ayam; Menturino sebagai nenek moyang kerbau, Riakko sebagai nenek moyang besi, Takkebuku sebagai nenek moyang padi.
Puang Matua kemudian menurunkan manusia pertama ke bumi yaitu Puang Bura Langi’. Ia kawin dengan wanita yang berasal dari dalam air bernama Kembong Bura. Dari perkawinan ini lahir keturunan manusia pertama di bumi (Pong pamula Tau). Kedatangan Puang Bura langi ke bumi juga dikawal oleh hambanya, Pong Pakulandi dengan memikul Aluk serba lengkap, yang disebut Aluk 7777777 atau Aluk Sanda Pitunna (serba tujuh/all around seven). Keturunan Puang Londong di Rura diceritakan sebagai manusia pertama di dunia yang melanggar Aluk yang dibawa oleh nenek moyangnya. Ia sangat kaya mempunyai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Karena takut hartanya lari pada orang lain, ia mengawinkan anak-anaknya menjadi pasangan suami-istri. Akibat pelanggaran terhadap Aluk yang merupakan tata aturan sosio religius, maka ia ditenggelamkan oleh Puang Matua. Eran di Langi (eran: tangga, langi’: langit) yang menghubungkan dunia dan langit diruntuhkan. Ini bermakna simbolik bahwa hubungan manusia dengan dewa-dewa menjadi terputus sama sekali.

Dari cerita ini, jelas bhw dalam kepercayaan aluk todolo, prinsip totalitas menjadi dasar untuk memahami fenomena sosio-kultural dan sisio religius. Segala sesuatu di dalam kosmos dianggap berhubungan secara organis dan tidak dapat dipisahkan secara nyata. Puang Matua merupakan pusat totalitas itu, tetapi dalam keyakinan Aluk Todolo, ia hanyalah merupkan latar belakang saja (Deus Otiosius). Ia tidak mempengaruhi kehidupan manusia secara aktif. Ia bertempat tinggal di langit, berkuasa, terlalu jauh, tidak terhampiri walaupun menaungi alam semesta serta abadi. Ia adalah primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat) di antara dewa-dewa lainnya. Karena itu namanya baru disebut dalam ritus-ritus pemujaan pada upacara-upacara besar, seperti ma’bua’ atau merok.
Bertolak dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak terlepas dari nilai-nilai religius menjadi ultimate value bagi seluruh kehidupan , dan aluk adalah sumber dan akar dari seluruh tatanan sosial budaya Toraja baik dalam dimensi material maupun spiritual. Aluk mempunyai pegertian yang sangat luas yaitu:[1] dalam Agama, hal berbakti kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama, dan ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku.
Aluk sanda pituna (aluk 7777777) menjadi filsafat hidup orang Toraja. Dimana manusia Toraja memandang kehidupannya sebagai suatu siklus atau suatu lingkaran yang tidak dapat diulangi. Tujuan hidup ialah kembali ke asalnya setelah segala ritual dipenuhi. Aluk 777777 yang bermakna sempurna mencakup semua bidang kehidupan antara lain:
1. Aluk Simuane Tallang (ritual-religius berpasangan) yang terdiri dari:
- Aluk Rambu Tuka’ (aluk rampe matallo), yaitu ritual-religius kesukaan.
- Aluk Rambu Solo’ (aluk rampe matampu’) yaitu ritual-religius kedukaan
2. Aluk Talu Lolona yaitu: ritual religius yang berhubungan dengan tiga makhluk hidup:
- Alukna Lolo Tau (yang menyangkut kehidupan manusia)
-Alukna Lolo Tananan (yang menyangkut tanaman)
- Alukna Lolo Patuoan (yang menyangkut hewan)
3. Aluk Rampanan Kapa (yang menyangkut perkawinan)
4. Aluk Banua (yang menyangkut bangunan rumah)
5. Aluk Padang (yang menyangkut tanah)
6. Alukna Uai (yang menyangkut air)
7. Aluk Tananan Pasa’ (yang menyangkut pasar).

Jadi seluruh tatanan kehidupan masyarakat Toraja diatur oleh aluk. Segala sesuatu didasarkan pada aluk, karena tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang melanggar aluk langsung mendapat hukuman dalam kehidupan ini. Hukuman ini hanya dapat dihapus dengan melakukan Massuru’ (penebusan dosa).

2. KONSEP DASAR UPACARA RAMBU SOLO’
Dalam keyakinan Aluk Todolo hidup dipahami sebagai suatu siklus yang tidak dapat diulangi. Itu berarti bahwa orang Toraja percaya adanya kontinuitas kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi ia berfungsi sebagai peralihan dari dunia nyata kepada dunia mistis. Filsafat ini dinyatakan dalam ungkapan pa’bongianri te lino, pa’gussali-salian lolo’ri kera’ pa’tondokan marendeng. Ungkapan ini mengandung arti bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan untuk sementara. Kehidupan abadi terletak di luar kenyataan alam ini. Meskipun hanya untuk sementara, namun kehidupan di dunia ini mempunyai fungsi bahkan merupakan bagian integral dalam perjalanan hidup. Pengertian kontinuitas lebih dominan dari pada perubahan kualitatif. Sebab kualitas hidup di sini akan dilanjutkan di sana. Penghayatan dan pengamalan kehidupan di sini tidak boleh dianggap kurang penting sebab justru kehidupan di sinilah yang memberi warna serta menentukan kehidupan di sana. Cara menghayati dan mengamalkan kehidupan di sini dengan segala ritualnya bahkan hidup itu sendiri adalah ritual, sangat menentukan kebahagiaan di sini dan akan berlanjut di sana.
Salah satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Ritus-ritus di sekitar upacara Rambu Solo’ bersumber dari falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat dari mana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat terwujud jika semua ritus-ritus yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun). Salah satu wadah mewujudkan ritus tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Kalau semua ritus itu lengkap maka arwah orang mati akan membali puang yang selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang masih hidup. Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali Puang, sehingga arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga.
Dalam rangka pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”, pada satu pihak ada kebenarannya – apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi – namun namun pada pihak yang lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di sini dan sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo’ adalah dout des – saya memberi agar engkau memberi – artinya dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar.
3. TINGKATAN-TINGKATAN DALAM PELAKSANAAN RAMBU SOLO’
Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum diupacarakan masih dikategorikan tomakula’ (makula’=panas). Ia tetap dilayani oleh keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang yang masih hidup.
Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari aluk (lesoan aluk) yang punya konsekuensi, sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi ke dalam empat kelompok:
➢ Tana’ Bulaan
➢ Tana’ Bassi
➢ Tana Karurung
➢ Tana’ Kua-kua

Dengan patokan kasta tersebut maka upacara Rambu Solo’ juga dikenal dalam empat tingkatan, yaitu:
a. Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana’ kua-kua):
➢ Dipasilamun Tallo’
➢ Didedekan Palungan/dikambuturan Padang
➢ Disilli’
➢ Dibai Tungga’
➢ Dibai A’pa
b. Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana’ karurung)
➢ Diisi (diberi gigi),.
➢ Dipasangbongi
➢ Ma’tangke Patomali
c. Tingkat untuk golongan bangsawan menengah (tana’ bassi)
Untuk tingkatan ini, upacaranya dikenal dengan istilah dibatang. Untuk tingkatan ini masih ada dua kategori, yaitu:
➢ Dipalimang bongi (lima malam) yaitu upacara yang berlangsung lima malam. Jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi.
➢ Dipapitung bongi (tujuh malam). Untuk kategori ini jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal 22 ekor babi. Di daerah Tallu Lembangna (Makale, Mengkendek, Sangalla’) masih dikenal tingkatan yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk) dimana kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor.
d. Untuk Upacara Dirapai’ masih dibagi dalam 3 tingkatan utama :
➢ Dilayu-layu.
➢ Rapasan Sundun
➢ Rapasan di baba gandang

Dari gambaran secara singkat tentang tingkatan upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo’ yang mesti dilakukan atas perintah aluk.

4. SIMBOL-SIMBOL UPACARA RAMBU SOLO
Yang dimaksud dengan simbol-simbol Rambu Solo’ di sini adalah pemaknaan terhadap semua atribut yang digunakan dalam upacara tersebut. Karena atribut yang digunakan dalam atribut Rambu Solo’ banyak sekali dan tidak sama untuk semua wilayah adat di Toraja, maka hanya di angkat beberapa di antaranya yang di anggap penting. Hal-hal yang dimaksud adalah:
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah adat dari satu rumpun keluarga (marga) dimana persekutuan darah daging dipelihara . Tongkonan adalah tempat pembinaan dan pemeliharaan aluk. Disamping itu Tongkonan juga berfungsi sebagai sumber wibawa kepemimpinan. Ia bermakna simbolik sebagai lembaga kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan sang pendiri juga keturunan yang dibangun di atas keunggulan, prestise dan privilise tertentu. Setiap orang harus mengetahui dari tongkonan mana ia berasal, baik dari pihak ibunya maupun dari pihak ayahnya. Oleh karena tongkonan mengikat seluruh keluarga, maka bila ada upacara yang dilaksanakan, baik Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’, maka upacara tersebut harus dilaksanakan di rumah tongkonan itu dan semua keluarga diharapkan hadir.

Pakaian
Dalam upacara rambu solo’ pakaian yang digunakan adalah pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam adalah simbol kekelaman atau kedukaan. Oleh karena itu dalam suatu upacara Rambu Solo’ keluarga dan semua orang yang datang ke tempat itu umumnya menggunakan kain berwarna hitam. Di samping itu digunakan juga pula pote yaitu tali dari benang berkepang yang ujungnya berumbai dan pada rumbai itu tercocok manik-manik. Pote ini dipakai pada keluarga yang sedang maro’. Selain pakaian warna hitam, digunakan juga pakaian warna merah (lambang kemuliaan) untuk menghias pondok-pondok atau peti jenasah, khususnya pada upacara rambu kaum bangsawan menengah ke atas.

Ukiran dan Hiasan-hiasan
Pada upacara Rambu Solo’ tingkat rapasan, rumah, halaman dan pondok serta peti jenasah diberi ukiran dan hiasan-hiasan yang semuanya bermakna melambangkan kebesaran yang meninggal dunia. Hiasan-hiasan dan ukiran-ukiran yang digunakan dalam Rambu Solo’ dimaksudkan sebagai pengantar arwah untuk memasuki dunia seberang yaitu puya. Oleh karenea itu, kesemarakan suasana dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ diyakini oleh penganut Aluk Todolo sebagai kesempurnaan si mati memasuki puya. Jadi jelas segala ukiran dan macam hiasan yang digunakan dalam upacara Rambu Solo’ mempunyai simbol “proyeksi” mesuknya sang arwah ke dunia seberang sana. Ukiran dan hiasan yang biasa digunakan pada upacara Rambu Solo’ pada bermacam-macam, namun di sini hanya akan dipaparkan beberapa di antaranya, yaitu:
- Saringan (palaidura) yaitu usungan mayat yang dibuat dari kayu.
- Langi’-langi’ berbentuk rumah mini Toraja yang dipasangkan pada saringan (pelengkap saringan) dan bermakna sebagai simbol kebesaran.
- Duba-duba (lamba-lamba) yaitu kain merah yang direntangkan panjang-panjang di atas kepala wanita ketika mayat sedang dalam arak-arakan dari rumah duka ke tempat pelaksanaan upacara (ma’pasonglo’/ma’palao)
- Lakkean yaitu pondok yang dibuat ditengah-tengah tempat pelaksanaan upacara sebagai tempat mayat disemayamkan selama upacara berlansung. Pondok ini dibuat dengan ketinggian kurang lebih 10 meter dan dilengkapi dengan segala macam hiasan-hiasan/ ukiran yang melambangkann kebesaran.
- Tombi yaitu kain berukir yang menyerupai panji-panji yang dipasang pada sekitar tempat pelaksanaan upacara.
- Bala’kayan yaitu menara yang dibuat dekat dengan lakkean yang berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembagian daging dalam upacara Rambu Solo’
- Simbuang yaitu batu yang berbentuk lonjong yang diarak dari tempat jauh, dan didirikan di sekitar tempat pelaksanaan upacara yang selain berfungsi sebagai batu peringatan bagi si mati sekaligus berfungsi sebagai tempat menambat kerbau yang akan dikorbankan pada upacara itu.
- Kandaure yaitu perhiasan dari manik-manik yang dicocok pada benang dan berbentuk corong, digunakan sebagai pelengkap kebesaran upacara Rambu Solo’ (juga dipergunakan dalam upacara Rambu Tuka’= pesta kesukaan).
- Daman yaitu sejenis kertas emas yang dipakai menghias peti jenasah sebagai pengganti emas, khusus bagi bangsawan menengah ke atas.
- Lantang (barung) yaitu pondok-pondok yang khusus dibuat untuk keperluan upacara Rambu Solo’. Apabila pondok itu jumlahnya banyak, maka tempat pelaksanaan upacara akan menyerupai perkampungan baru.

Kesenian
Dalam upacara Rambu Solo’, kesenian dan tari-tarian mempunyai arti yang dalam. Jenis kesenian dan tari-tarian yang mempunyai arti yang dalam, jenis kesenian dan tari-tarian yang dipentaskan dalam upacara Rambu Solo’, antara lain:
- Baddong yaitu nyanyian yang dilagukan dalam keadaan berdiri, yang disertai dengan gerakan tangan dan hentakkan kaki sambil berputar dalam kelompok yang membentuk lingkaran.
- Retteng yaitu nyanyian kedukaan yang dilagukan secara berbalas-balasan oleh dua orang atau lebih
- Dondi’ yaitu nyanyian yang dinyanyikan sekelompok orang secara berbalas-balasan.
- Marraka yaitu nyanyian kedukaan yang diiringi oleh seruling bambu
- Randing yaitu sejenis tarian perang yang disertai dengan hentakkan kaki dan pekikan suara oleh para penari pria. Randing hanya dilakukan pada pemakaman seorang lelaki yang dianggap pahlawan
Semua bentuk kesenian dan tari-tarian tersebut di atas dilakukan untuk mengekspresikan kedukaan yang mendalam karena kematian. Khususnya dalam badong, syairnya mengungkapkan sejarah perjalanan hidup bahkan pernghormatan terakhir pada yang meninggal dunia
Menurut kepercayaan aluk todolo semua nyanyian dan tarian yang digelar dalam upacara Rambu Solo’, merupakan proyeksi kemuliaan dari yang meninggal dunia dlam memasuki dunia seberang sana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tarian dan nyanyian dalam upacara Rambu Solo’, selain merupkan ungkapan kedukaan dan penghormatan, juga merupakan “Simbol Kemuliaan” arwah seseorang memasuki dunia arwah.

Tau-Tau (patung)
Tau-tau (tau = orang) ialah patung atau arca yang berfungsi sebagai personifikasi dan seseorang yang meninggal dunia dan hanya diadakan dalam tingkat upacara Rambu Solo’ bagi golongan bangsawan menengah ke atas. Ada dua macam tau-tau atau arca yang dikenal yaitu tau-tau kayu dan tau-tau karurung
Untuk membuat tau-tau dibutuhkan pemahat khusus yang dikenal dnegan istilah Topande. Selama proses pembuatan topande harus tidur dekat atau di bawah kolong rumah jenasah disemayamkan. Setelah selesai tau-tau tersebut didirikan di dekat peti jenasah. Ia diperlakukan seperti orang hidup (diberi nasi, pakaian dan perhiasan). Pakaian dan perhiasan yang dikenakan itu menunjukkan status sosial si mati. Oleh karena itu, dikatakan Tau-tau adalah The Living Dead yang karenanya harus dihormati, disembah dan diratapi. Ia lebih dari sekedar arca biasa hasil karya seorang pemahat. Ia adalah penjelmaan dari si mati yang selama upacara berfungsi sebagai penghubung antara ornag yang masih hidup dan kaum keluarga kerabat yan telah meninggal dunia, dengan kata lain ia berfungsi sebagai pembawa titipan dari orang yang masih hidup kepada mereka yang telah meninggal dunia. Jadi dalam Aluk Todolo, Tau-tau mempunyai nilai religius dan sosial.

Rante
Rante (lapangan) adalah tempat penyelenggaraan upacara Rambu Solo’, khusus bagi kalangan menengah dan ke atas pada tingkatan dirapa’i. Di tempat ini dibangun sejumlah pondok berantai yang berfungsi sebagai tempat penginapan selama upacara berlangsung.

Erong
Pada zaman dahulu dalam masyarakat Toraja setiap golongan bangsawan menengah ke atas yang meninggal dunia dibuat peti jenasah yang disebut erong. Bentuknya menyerupai perahu yang diukir. Sedangkan untuk orang-orang merdeka/biasa hanya dibungkus dengan kain yang berlapis-lapis dan berbentuk bulat lonjong. Dari sini jelas terlihat bahwa jenis peti jenasah menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat Toraja.

Hewan yang dikorbankan
Pemotongan hewan pada setiap upacara Rambu Solo’ harus didasarkan pada stratifikasi sosial. Tentang hewan yang dikorbankan dapat dilihat dalam tiga hal:
a. Jenis hewan
Untuk golongan bangsawan, khususnya untuk tingkat upacara (rapasan sundun ke atas) jenis hewan yang dipotong harus lengkap, yaitu kerbau, babi, anjing, kuda atau manusia (hambanya). Jadi, dari semua jenis hewan peliharaan, kecuali ayam dan kucing
b. Jumlah
Tentang banyaknya hewan yang dikorbankan kiranya sudah jelas dalam uraian sebelumnya (dalam tingkatan Rambu Solo’)
c. Tanda-tanda
Dalam setiap upacara Rambu Solo’, hewan yang dikorbankan khususnya kerbau harus didasarkan pada tanda-tanda. Secara umum kerbau dalam masyarakat Toraja diklasifikasikan dalam empat kelompok (kelas) sesuai dengan stratifikasi sosial, yaitu:
- Pudu/Balian.
- Saleko.
- Todi’.
- Sambao
- Sokko
- Pangloli
- Pudu Bara’
- Sambok Ra’tuk
- Lotong Boko .

Masih relevankah Rambu Solo’ beserta segala prasyaratnya pada konteks sekarang ini, di saat mana sebagian terbesar orang toraja sudah beragama. Semuanya terpulang kepada kita semua.....

Eddy Papayungan.
(Ref : Dance Gideon Dengak, dan berbagai sumber)

Indonesia fisheries expo 2010

INDONESIA FISHERIES EXPO 2010: IKAN SEBAGAI SUMBER KETAHANAN PANGAN
Setelah sukses menyelenggarakan Indonesia Fisheries Expo 2008 dan 2009, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyelenggarakan Indonesia Fisheries Expo 2010 di Kartika Expo Center, Jakarta, tanggal 21 – 24 Oktober ini. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad membuka acara tersebut Kamis pagi (21/10). Pameran yang telah menjadi agenda tahunan ini merupakan salah satu sarana untuk mempromosikan produk dan jasa teknologi kelautan dan perikanan kepada masyarakat luas.  
“Dalam sambutannya Menteri Fadel meminta seluruh pemangku kepentingan di sektor kelautan dan perikanan dapat berpartisipasi pada pameran ini di tahun-tahun mendatang. Ia juga berharap agar kegiatan strategis seperti ini dapat berlangsung rutin dengan kualitas yang terus ditingkatkan sehingga mampu menyamai pameran-pameran perikanan atau seafood di luar negeri seperti European Seafood Exposition, International Boston Seafood Show, Busan International Seafood & Fisheries Expo dan sebagainya. Pada rangkaian acara tahun ini, pameran diwarnai pula dengan berbagai kegiatan untuk menarik pengunjung, seperti Forum Investasi Kelautan dan Perikanan, Lomba Masak Serba Ikan, Talkshow Manfaat Ikan untuk Kesehatan Jantung, Lomba Menggambar Tema Perikanan untuk siswa SD, serta demo pengolahan produk perikanan.  “ 

Fadel juga menekankan agar pelaku usaha perikanan, baik tangkap, budidaya dan pengolah ikan, menyediakan hasil perikanan yang bermutu sesuai standar dan persyaratan untuk dikonsumsi manusia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri telah mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang jaminan mutu hasil perikanan, di antaranya UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan (diperbaruhi dengan UU No.45 tahun 2009 tentang Perikanan) dan Kepmen No. 01/MEN/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Namun, selain penerapan aturan pemerintah dan tanggung jawab pelaku usaha dari hulu sampai hilir, masalah mutu ini juga memerlukan dukungan dari masyarakat konsumen dan media massa. “Masyarakat harus menjadi konsumen yang pintar. Media massa berperan mengedukasi mereka,” tegas Fadel. 

Semangat, perhatian dan kesadaran seluruh pihak akan pentingnya masalah mutu dan keamanan hasil perikanan memang harus terus ditingkatkan. Hanya dengan membangun “sense of quality and safety”  seluruh pemangku kepentingan, maka produk perikanan Indonesia akan terjamin mutu dan keamanan pangannya, sehingga dapat bersaing dan berkibar di percaturan global. 

Selain masalah mutu dan keamanan  pangan, KKP juga berupaya mendorong peningkatan produksi perikanan guna mendukung kecukupan pasokan ikan bagi kebutuhan pasar dalam negeri maupun ekspor. Selain sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sektor kelautan dan perikanan juga berpeluang besar untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan nasional. Saat ini Indonesia belum dapat memanfaatkan potensi sumber daya ikan secara optimal untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan nasional. 

KKP menyadari perlu terlibat aktif dalam mendukung terwujudnya ketahanan pangan nasional karena, pertama, ketahanan pangan merupakan bagian dari upaya pemenuhan hak atas pangan yang merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia, kedua merupakan pendukung terwujudnya ketahanan nasional dan ketiga menjadi modal pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri dan sejahtera. Untuk mewujudkan hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengembangkan Kebijakan Revolusi Biru (the Blue Revolution Policies) yang bertumpu pada penguatan kelembagaan dan SDM secara terintegrasi, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, peningkatan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan, serta perluasan akses pasar domestik maupun internasional. 

 

 
Jakarta, 20 Oktober 2010
Plh. Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
Kepala Bagian Tata Usaha



Drs. Eddy Papayungan, MM

DKP Bangun Kapal Latih Di Spanyol

Sumber : | Senin, 23 Februari 2009 07:13
0
0
Share Detail


 
Kapanlagi.com

Merdeka.com - Kapanlagi.com - Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) membangun sebuah kapal latih perikanan dengan bobot mati 500 gross ton (GT) di galangan kapal Asturias Gondan, Spanyol.
Kepala Bidang Informasi Pusat Data Informasi dan Statistik (Pusdatin) DKP, Eddy Papayungan mengatakan, pembangunan kapal latih perikanan tersebut telah dimulai sejak bulan Agustus 2008, dan diperkirakan selesai November 2009.
Kapal latih yang mempunyai mampu menampung 23 awak kapal, empat orang dosen, dan 50 orang taruna tersebut dijadwalkan penyerahannya dilakukan di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara, pada bulan Februari 2010.
Kapal latih jenis multi purpose dengan alat tangkap purse seine dan long line ini dilengkapi dengan fasilitas peralatan laboratorium oseanografi, dan didesain mampu beroperasi selama 40 hari dengan kecepatan ekonomis mencapai 11 knot.
Pembangunan kapal latih 500 GT tersebut merupakan bagian dari proyek "Fisheries Training Development in Indonesia" (FTDI) sebagai pelaksanaan perjanjian kerja sama bilateral antara Pemerintah Indonesia dengan Spanyol yang ditandatangani tanggal 12 April 2004.
Salah satu tujuan kerja sama ini untuk meningkatkan daya saing dan memenuhi kekurangan jumlah tenaga kerja kelautan yang profesional berstandar internasional, dengan pemahaman dan kompetensi teknologi di bidang penangkapan, pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, serta teknologi pengolahan dan pengembangan produk perikanan yang sesuai dan dibutuhkan pasar regional dan internasional.
Kerja sama proyek FTDI sendiri tidak saja mempersiapkan sebuah kapal latih tetapi juga mempersiapkan peralatan simulator perikanan, peralatan laboratorium, beasiswa pendidikan program S2 di Grimsby Institute Further and Higher Education di Inggris, serta latihan bagi awak kapal serta teknisi laboratorium dan simulator.
Sementara itu, khusus untuk kapal latih perikanan, selain dimanfaatkan dalam pendidikan dan pelatihan perikanan, diharapkan dapat memperkuat armada kapal yang dapat digunakan dalam penelitian oseanografi di Indonesia.
Kapal latih ini diharapkan pula akan meningkatkan kuantitas dan kualitas pengembangan kelautan dan perikanan Indonesia.(kpl/roc)

coastal management, fisheries, marine affairs, climate change 
Posted by: Hendra Siry | 14 March, 2009

Siaran Pers DKP: Menyongsong Konferensi Kelautan Dunia, Kota Manado Berbenah

Sebagai tempat penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) atau konferensi kelautan sedunia yang  akan dihadiri sekitar 500 peserta dari 121 negara dan rangkaian konferensi tersebut yaitu Coral Triangle Initiative Summit (CTI Summit) yang akan menghadirkan 6 Kepala Negara  CTI, Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon, serta mitra CTI, yaitu Australia dan Amerika Serikat serta berbagai side events WOC yang diikuti sekitar 1.500 peserta dari seluruh dunia, Kota Manado segera berbenah.
Lima hotel berbintang dengan kapasitas 3.000 kamar dibangun dan harus siap sebelum Mei 2009. Bandara Sam Ratulangi dibenahi, fasilitas garbarata ditambah, ruang VIP diperluas, ruang imigrasi dirapihkan dan apron bandara diperlebar agar mampu menampung 20 pesawat VVIP. Jalan Boulevard dari Bandara Sam Ratulangi menuju Kota Manado dibuat empat lajur. Di samping itu, pembangunan Grand Kawanua International Convention Centre berkapasitas 3.000 orang dikebut pembangunannya.
Belum lagi persiapan sarana pembangkit listrik tenaga panas bumi 3 x 20 Megawatt, sarana telekomunikasi dan transportasi, internet Wimax serta sarana wisata ke Taman Laut Bunaken yang seluruhnya harus selesai sebelum Mei 2009. Tidak tanggung-tanggung seluruh persiapan pembangunan sarana dan prasarana tersebut ditinjau langsung oleh Presiden Susilo bambang Yudhoyono dalam kunjungan kerja ke Manado pada 25 Desember 2009. Waktu bergerak cepat, semua menghitung hari, persiapan WOC’09  kerjasama lintas sektor terus berdenyut. Indonesia tengah meneguhkan dirinya untuk menjadi salah satu negara kelautan yang tangguh di dunia.
Jakarta, Maret 2009
a.n.Kepala Pusat Data, Statistik
dan Informasi
Kepala Bidang Informasi
Eddy Papayungan.

Press Releases

Friday, 13 March 2009 14:28

MANADO BE PREPARED TO WELCOME WORLD MARINE CONFERENCE

No. B. 29/PDSI/HM.310/III/2009
MANADO BE PREPARED TO WELCOME WORLD MARINE CONFERENCE
As a place where World Ocean Conference (WOC) or marine world conference is going to be held by about 500 participants from 121 countries and a series of the conferences which is Coral Triangle Initiative Summit (Summit CTI), which will bring 6  CTI head of state, Indonesia, Malaysia, Philippines, Papua New Guinea, Timor Leste and the Solomon Islands, and CTI partners, Australia, United States and various WOC side events which was followed around 1500 participants from all over the world, Manado city get prepare.
Five-star hotel with 3000 rooms capacity, built and should be ready before May 2009. Sam Ratulangi Airport be addressed, garbarata facility is added, expanded VIP room, immigration room is clean up expanded airport apron to be able to accommodate 20 WIP aircraft.
Boulevard Road from Sam Ratulangi Airport to Manado made four rows. In addition, the construction of Grand Kawanua International Convention Center with 3000 people is speed up.

Not to mention the preparation geothermal power energy 3 x 20 Megawatt, telecommunications facilities and transport, WiMAX internet and tourism facilities to Bunaken Marine Park must be entirely completed before May 2009.
Without half-hearted all preparation of  facilities and infrastructure development are reviewed directly by President Susilo Bambang Yudhoyono in a working visit to Manado on 25 December 2009.
Time is running out, all people counting the day, WOC'09 cross-sector cooperation preparation still continue. Indonesia make itself to be one of the strong marine country in the world.

Jakarta, March 2009
on behalf of. Head of Center for Data, Statistic and Information
Head of Information Section
       

Eddy Papayungan.
INDONESIA BAGUS - TANA TORAJA
Acara Pemakaman Alm. Dr. Michael Maramba Papayungan, MA dan Ny. Jakolina Rapa Papayungan di Tongkonan Pa' Patukuan, Barana, Tikala- Toraja Utara, 3 - 16 Juli 2013

http://www.youtube.com/watch?feature=player_detailpage&v=vBlrzcQ8xRw
Pongmaramba en assistent in het Lapangan Bakti, Rantepao-1907 —
Wolter Rante Papayungan (Siambe' Nek Mambe) pada Upacara Pemakaman Parenga' Nanggala, 1972
Ma'marakka dance : A dance accompanied by an elegy (pa'marakka) sung by a women and accompanied by flutes in rituals of the east and offerings to the gods (photos from 1938 taken in Kalambe ).
Ma’ Bugi’ Dance, photos from 1938 taken in Kondongan by Claire Holt
“A cheerful thanksgiving dance by singing male and female dancers”
Mangnganda' Dance in Kalambe, Tikala ; photos taken in 1938 by Claire Holt.

In the mangnganda' dance a group of men wearing gigantic headdresses of silver coins (rijksdaalders), real buffalo horns and sacred cloths made of black velvet dance to the sound of a bell and the screaming voice of the leader, there is no singing. The headdresses are so heavy that the dance lasts only a few minutes. It used to be performed during house inauguration and harvest ceremonies.
PANCASILA versi TORAJA
Pancasila versi Toraja ini bukanlah versi resmi karena belum pernah dirumuskan secara formal sbg terjemahan Pancasila dalam bahasa Toraja. Setidaknya Pancasila (Lima Parandangan) dapat membantu siapa saja yang membutuhkannya. Pancasila versi Toraja (Lima Parandangan) ini sudah digunakan oleh beberapa orang baik dalam tugas penulisan thesis, tugas sekolah, penataran-penataran termasuk dalam Diklat pimpinan PNS baik di Toraja maupun diluar Toraja. Berikut selengkapnya :

LIMA PARANDANGAN
(PANCASILA)

1. KAPUANGAN MATUA TU SUMPU TUNGGA'NA
(KeTuhanan Yang Maha Esa)

2. KATOLINOAN TU MALAMBU’ NA MENNADA'
(Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab)

3. KASISANGINAAN SANGINDONESIAN
(Persatuan Indonesia)

4. PA’TONDOKAN TU NAULUI KAKINAAN LISA’ NAA-NAA LAN
KAKOMBONGAN PESSUMBUNGAN TONDOK
(Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan)

5. KAMALAMBURAN MATURU-TURU LAKO MINTU PA’TONDOKANNA INDONESIA
(Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia)

TORAJA IN CARVING'S
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki "sistem tulisan". Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya "PASSURA' "(atau tulisan).Oleh krn itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya toraja. Ada lbh kurang 67 bentuk ukiran toraja yg hingga kini dikenali.
Sebelum bercerita lbh jauh ttng Passura', penting mengetahui ARSITEK pertama di balik ukiran yg indah itu.
Dia adalah : NEK LIMBONGAN
Orang ini konon kabarnya adalah Arsitek Toraja yg pertama, sekaligus sbg penemu ukiran Toraja sekitar 3.000 thn yg silam. Limbongan menurut pengertian toraja adalah sumber mata air yg tdk pernah kering yg dpt memberi kehidupan segar kepada alam sekitarnya.
NEK LIMBONGAN adalah bentuk karya ukiran/passura' yg dibuat mengabadikan namanya.
Makna ukiran tersebut : Bahwa orang Toraja bertekad dapat memperoleh rezeki dari empat penjuru (Utara, timur, barat dan selatan) bagaikan mata air yg bersatu dalam satu danau dan memberi kebahagiaan bagi anak cucunya.

NEK LIMBONGAN
" LONDE TORAYA "
Londe merupakan karya sastra toraja berbentuk puisi yg berupa pantun. Mnrt kamus Toradja-Indonesia, 1972 (J.Tammu & Van der veen), londe = pantun, ma’ londe = berpantun dan silonde = berbalas pantun.
Londe diangkat dari olah rasa dan pemikiran tentang suatu hal atau maksud. Isinya dapat berupa ungkapan perasaan, nasehat, pendapat, hingga candaan/lelucon.

Karena masyarakat toraja tdk mengenal budaya tulisan, seperti halnya masyarakat bugis-makassar mengenal “lontara bilang”, menjadikan londe hanya sebagai tradisi lisan/tutur yg diwariskan secara turun-temurun.

Londe dilafalkan/disampaikan dengan intonasi suara tertentu mengunakan kalimat-kalimat yang bergaya bahasa metaforik , dan pada umumnya terdiri atas 4 baris kalimat dengan bahasa yg mudah di mengerti.

Karena pesatnya modernisasi dan pengaruh luar terhadap budaya kita maka pada umumnya karya sastra tradisional di berbagai daerah di Indonesia secara perlahan mulai ditinggalkan, termasuk Londe Toraya.

Sungguh sangat disayangkan jika generasi muda toraja yang ada saat ini tidak mengapresiasi serta membangun kesadaran untuk meneruskan warisan luhur para leluhur toraja.

Berikut beberapa contoh londe toraya :

1. Ungkapan perasaan :

La disumpa’ inde lemo,
anna kondi’ pesumpa’
Tang la disumpa’,
anna maillun mata
(Seorang pemuda yg ragu2 ingin menyatakan cintanya tapi tak ada keberanian. Namun jika ia tidak menyatakannya, hatinya terus berdebar-debar sepanjang hari memikirkan sang pujaan tsb).

2. Pendapat :
Da’mu sule massambeko’
ke sumalong-malongko
Kayu sang bengnga’
kukurean sumanga’
(Jika terus berusaha dan tidak pernah menunda-nunda waktu yakin masa depanmu cemerlang).
3. Nasehat :
Da’mu mari’pi ma’dokko,
dio to kasepangan
Ke’de’ko kale’,
mupatarru lalanmu
(Jangan kamu selalu bersantai-santai, bangkitlah dan bekerja keraslah untuk menggapai cita-citamu).
4. Candaan :
Alla’ko kagereng-gereng,
lako manuk lundara
Manda’ rompona
Bintin balabatunna
(Percuma saja kamu mendekati anak gadis itu, karena pasti kamu akan gagal).
5. Ajakan berbalas pantun :

Umbara susi londemu,
pasitempe’ dukami
Anta sisonda
untanan pa’perangi.
Just the way you are :
TILANGA, Wisata Permandian di Toraja

Tilanga adalah sebuah kolam alami yang jauh dari hingar bingar kota. Terbentuk pada batuan cadas yang dikelilingi pepohonan rimbun, lengkap dengan bunyi-bunyian alam. Sederhana, apa adanya. Tapi itulah daya tarik Tilanga. Sejuk dan menentramkan.

Pemandian alami Tilanga terletak di Desa Sarira, Kecamatan Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia. Jaraknya sekitar 13 kilometer sebelah selatan kota Rantepao atau 13 kilometer sebelah utara kota Makale.

Pemandian ini adalah kolam alam dengan sumber mata air di dalamnya. Ukurannya cukup luas, sekitar 15 x 25 meter dengan kedalaman sekitar tiga hingga lima meter di bagian tertentu. Bentuknya cerukan pada cadas tidak beraturan. Sebagian kolam didominasi batu alam yang langsung menyambung dengan dinding batu disekelilingnya.

Yang unik dari obyek ini, ikan Moa (spesies belut) berukuran selengan bagian bawah orang dewasa berenang dengan bebasnya. Tidak terganggu oleh manusia yang berada satu kolam dengan mereka. Boleh dicandai atau diberi makan. Tapi jangan ditangkap dan dibawa pergi. Penduduk asli di sana akan marah karena belut-belut itu dianggap sebagai binatang yang sakral.

Tak jauh dari kolam, tersedia sebuah tempat ganti pakaian. Tapi, namanya juga pemandian alami, pengelolanya tidak menyediakan persewaan pakaian renang. Jika membawa pakaian ganti, nyebur saja langsung dan rasakan kesejukannya.

SABUNG AYAM DI TORAJA
Sabung ayam di Toraja sudah dikenal jauh sebelum masuknya Kolonial Belanda pada tahun 1906 Masehi. Sabung ayam dalam budaya Toraja merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa bagi pihak-pihak berselisih tentang perkara apa saja yang mereka tidak bisa selesaikan sendiri. Sabung ayam juga dilakukan sbg pemenuhan ritual kepercayaan (Aluk), yg mana bulu sayap ayam jantan diambil dan ditancapkan di “tuang-tuang” atau bentangan bambu-bambu kecil sbg simbol penolak bala pada acara “aluk rambu solo’ “. Istilah sabung ayam dalam peradilan masyarakat Toraja dikenal dengan “Si Londongan”. Tata cara peradilan sabung ayam (Si Londongan) diakui dan dianggap sah serta dihormati apapun keputusannya oleh masyarakat, walaupun tidak ada saksi-saksi dan alat-alat bukti lain seperti yang lazim di pengadilan modern. Proses peradilan ini dilaksanakan oleh Badan Dewan Adat masyarakat Toraja. Siapun yang kalah dalam pertandingan yang sudah disepakati bersama dan disaksikan oleh orang sekampung ini taat akan hasilnya. Tidak ada unjuk rasa, palagi anarki karena para pihak merasa hasil dari peradilan ini sudah yang paling adil. Namun dlm perkembangannya tradisi sabung ayam kemudian menjadi ajang taruhan di berbagai kesempatan dan pada berbagai tempat.

Untuk konteks sekarang ini, menurut anda apakah tradisi sabung ayam layak atau tdk dilegalkan di Toraja ???