RAMBU SOLO’ DALAM KEYAKINAN ALUK TODOLO
(RELEVANSINYA KINI)
Salah satu budaya toraja yang terkenal dan senantiasa menarik perhatian
wisatawan, adalah “rambu solo’” yaitu adat istiadat disekitar upacara
kematian dan penguburan. Upacara yang berlatarbelakang kepercayaan
politeis ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan sangat bernilai
bahkan begitu mengikat masyarakat Toraja. Permasalahan mulai terjadi
ketika pemberitaan Injil mulai masuk ke toraja. Perjumpaan ini
menyebabkan terjadinya benturan antara kebenaran-kebenaran Kristiani
dengan berbagai konsep dan ritual dalam upacara rambu solo’. Ketegangan
yang masih terus berlanjut hingga kini menuntut gereja toraja perlu
tegas (tidak sinkretis) memikirkan keterlibatannya dalam pemeliharaan
kebudayaan toraja. Mana yang perlu dipertahankan dan mana yang harus
dihilangkan perlu penjelasan secara komprehensif mengenai upacara rambu
solo’ untuk kemudian dapat menolong kita mengambil sikap yang tepat dan
benar ditengah-tengah ketegangan yang terjadi.
Untuk menuntun kita memahami mengenai rambu solo’ dalam keyakinan aluk todolo terlebih dulu perlu memahami hal-hal berikut :
1. Tempat Rambu Solo’ dalam Konfigurasi Budaya Toraja
2. Konsepsi Dasar Upacara Rambu Solo’
3. Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
4. Simbol-simbol Upacara Rambu Solo’.
1. TEMPAT RAMBU SOLO DALAM KONFIGURASI BUDAYA TORAJA
Mitos toraja, menceritakan pada mulanya langit dan bumi masih bersatu.
Ketika langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga dewa yaitu: Pong Tulak
Padang, Pong Bangga-irante, dan Gaun Tikembong. Ketiga dewa ini dikenal
sebagai Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan (Tri dewa). Mereka
yang menciptakan matahari, bulan dan bintang.
Gaun
Tikembong kemudian mengambil sebuah rusuknya dan menjadikan dewa yang
disebut: Usuk Sangbaban, yang kemudian kawin dengan Simbolon Manik yang
keluar dari batu kemudian melahirkan Puang Matua. Puang Matua kawin
dengan Arrang di Batu, dan dari perkawinan inilah Puang Matua
melanjutkan proses penciptaan dengan kelahiran delapan orang anak kembar
“Sauran sibarrung” (pupulan kembar) yaitu: Datu Laukku sebagai nenek
moyang manusia; Allo Tiranda sebagai nenek moyang racun; Laungku sebagai
nenek moyang kapas; Pong Pirik-Pirik sebagai nenek moyang hujan;
Menturini sebagai nenek moyang ayam; Menturino sebagai nenek moyang
kerbau, Riakko sebagai nenek moyang besi, Takkebuku sebagai nenek moyang
padi.
Puang Matua kemudian menurunkan manusia pertama
ke bumi yaitu Puang Bura Langi’. Ia kawin dengan wanita yang berasal
dari dalam air bernama Kembong Bura. Dari perkawinan ini lahir keturunan
manusia pertama di bumi (Pong pamula Tau). Kedatangan Puang Bura langi
ke bumi juga dikawal oleh hambanya, Pong Pakulandi dengan memikul Aluk
serba lengkap, yang disebut Aluk 7777777 atau Aluk Sanda Pitunna (serba
tujuh/all around seven). Keturunan Puang Londong di Rura diceritakan
sebagai manusia pertama di dunia yang melanggar Aluk yang dibawa oleh
nenek moyangnya. Ia sangat kaya mempunyai empat orang anak, dua
laki-laki dan dua perempuan. Karena takut hartanya lari pada orang lain,
ia mengawinkan anak-anaknya menjadi pasangan suami-istri. Akibat
pelanggaran terhadap Aluk yang merupakan tata aturan sosio religius,
maka ia ditenggelamkan oleh Puang Matua. Eran di Langi (eran: tangga,
langi’: langit) yang menghubungkan dunia dan langit diruntuhkan. Ini
bermakna simbolik bahwa hubungan manusia dengan dewa-dewa menjadi
terputus sama sekali.
Dari cerita ini, jelas bhw
dalam kepercayaan aluk todolo, prinsip totalitas menjadi dasar untuk
memahami fenomena sosio-kultural dan sisio religius. Segala sesuatu di
dalam kosmos dianggap berhubungan secara organis dan tidak dapat
dipisahkan secara nyata. Puang Matua merupakan pusat totalitas itu,
tetapi dalam keyakinan Aluk Todolo, ia hanyalah merupkan latar belakang
saja (Deus Otiosius). Ia tidak mempengaruhi kehidupan manusia secara
aktif. Ia bertempat tinggal di langit, berkuasa, terlalu jauh, tidak
terhampiri walaupun menaungi alam semesta serta abadi. Ia adalah primus
inter pares (yang pertama di antara yang sederajat) di antara dewa-dewa
lainnya. Karena itu namanya baru disebut dalam ritus-ritus pemujaan pada
upacara-upacara besar, seperti ma’bua’ atau merok.
Bertolak dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak
terlepas dari nilai-nilai religius menjadi ultimate value bagi seluruh
kehidupan , dan aluk adalah sumber dan akar dari seluruh tatanan sosial
budaya Toraja baik dalam dimensi material maupun spiritual. Aluk
mempunyai pegertian yang sangat luas yaitu:[1] dalam Agama, hal berbakti
kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama, dan
ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku.
Aluk sanda
pituna (aluk 7777777) menjadi filsafat hidup orang Toraja. Dimana
manusia Toraja memandang kehidupannya sebagai suatu siklus atau suatu
lingkaran yang tidak dapat diulangi. Tujuan hidup ialah kembali ke
asalnya setelah segala ritual dipenuhi. Aluk 777777 yang bermakna
sempurna mencakup semua bidang kehidupan antara lain:
1. Aluk Simuane Tallang (ritual-religius berpasangan) yang terdiri dari:
- Aluk Rambu Tuka’ (aluk rampe matallo), yaitu ritual-religius kesukaan.
- Aluk Rambu Solo’ (aluk rampe matampu’) yaitu ritual-religius kedukaan
2. Aluk Talu Lolona yaitu: ritual religius yang berhubungan dengan tiga makhluk hidup:
- Alukna Lolo Tau (yang menyangkut kehidupan manusia)
-Alukna Lolo Tananan (yang menyangkut tanaman)
- Alukna Lolo Patuoan (yang menyangkut hewan)
3. Aluk Rampanan Kapa (yang menyangkut perkawinan)
4. Aluk Banua (yang menyangkut bangunan rumah)
5. Aluk Padang (yang menyangkut tanah)
6. Alukna Uai (yang menyangkut air)
7. Aluk Tananan Pasa’ (yang menyangkut pasar).
Jadi seluruh tatanan kehidupan masyarakat Toraja diatur oleh aluk.
Segala sesuatu didasarkan pada aluk, karena tanpa aluk kehidupan menjadi
sia-sia. Yang melanggar aluk langsung mendapat hukuman dalam kehidupan
ini. Hukuman ini hanya dapat dihapus dengan melakukan Massuru’
(penebusan dosa).
2. KONSEP DASAR UPACARA RAMBU SOLO’
Dalam keyakinan Aluk Todolo hidup dipahami sebagai suatu siklus
yang tidak dapat diulangi. Itu berarti bahwa orang Toraja percaya adanya
kontinuitas kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah akhir dari
segalanya, tetapi ia berfungsi sebagai peralihan dari dunia nyata kepada
dunia mistis. Filsafat ini dinyatakan dalam ungkapan pa’bongianri te
lino, pa’gussali-salian lolo’ri kera’ pa’tondokan marendeng. Ungkapan
ini mengandung arti bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan untuk
sementara. Kehidupan abadi terletak di luar kenyataan alam ini. Meskipun
hanya untuk sementara, namun kehidupan di dunia ini mempunyai fungsi
bahkan merupakan bagian integral dalam perjalanan hidup. Pengertian
kontinuitas lebih dominan dari pada perubahan kualitatif. Sebab kualitas
hidup di sini akan dilanjutkan di sana. Penghayatan dan pengamalan
kehidupan di sini tidak boleh dianggap kurang penting sebab justru
kehidupan di sinilah yang memberi warna serta menentukan kehidupan di
sana. Cara menghayati dan mengamalkan kehidupan di sini dengan segala
ritualnya bahkan hidup itu sendiri adalah ritual, sangat menentukan
kebahagiaan di sini dan akan berlanjut di sana.
Salah
satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah upacara
Rambu Solo’. Ritus-ritus di sekitar upacara Rambu Solo’ bersumber dari
falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah
tempat dari mana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis
transenden. Hal ini dapat terwujud jika semua ritus-ritus yang menjadi
syaratnya terpenuhi (sundun). Salah satu wadah mewujudkan ritus tersebut
adalah upacara Rambu Solo’. Kalau semua ritus itu lengkap maka arwah
orang mati akan membali puang yang selanjutnya akan selalu mengawasi dan
memberkati keluarga yang masih hidup. Sebaliknya kalau upacara tidak
lengkap ia tidak akan membali Puang, sehingga arwahnya selalu
gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga.
Dalam
rangka pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau upacara Rambu
Solo’ dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat menonjol.
Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang
Toraja adalah “hidup untuk mati”, pada satu pihak ada kebenarannya –
apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan
observasi dari luar tanpa partisipasi – namun namun pada pihak yang lain
dapat disimpulkan bahwa orang Toraja penuh dengan upacara-upacara
religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai fungsi eskatologis
mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden)
menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di sini dan sebaliknya.
Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo’ adalah dout des – saya memberi agar
engkau memberi – artinya dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau
arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar.
3. TINGKATAN-TINGKATAN DALAM PELAKSANAAN RAMBU SOLO’
Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi
belum diupacarakan masih dikategorikan tomakula’ (makula’=panas). Ia
tetap dilayani oleh keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang
yang masih hidup.
Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari
aluk (lesoan aluk) yang punya konsekuensi, sehingga pelaksanaannya harus
memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk
itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu
Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi ke
dalam empat kelompok:
➢ Tana’ Bulaan
➢ Tana’ Bassi
➢ Tana Karurung
➢ Tana’ Kua-kua
Dengan patokan kasta tersebut maka upacara Rambu Solo’ juga dikenal dalam empat tingkatan, yaitu:
a. Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana’ kua-kua):
➢ Dipasilamun Tallo’
➢ Didedekan Palungan/dikambuturan Padang
➢ Disilli’
➢ Dibai Tungga’
➢ Dibai A’pa
b. Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana’ karurung)
➢ Diisi (diberi gigi),.
➢ Dipasangbongi
➢ Ma’tangke Patomali
c. Tingkat untuk golongan bangsawan menengah (tana’ bassi)
Untuk tingkatan ini, upacaranya dikenal dengan istilah dibatang. Untuk tingkatan ini masih ada dua kategori, yaitu:
➢ Dipalimang bongi (lima malam) yaitu upacara yang berlangsung lima
malam. Jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18
ekor babi.
➢ Dipapitung bongi (tujuh malam). Untuk kategori ini
jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal 22 ekor
babi. Di daerah Tallu Lembangna (Makale, Mengkendek, Sangalla’) masih
dikenal tingkatan yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk) dimana
kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor.
d. Untuk Upacara Dirapai’ masih dibagi dalam 3 tingkatan utama :
➢ Dilayu-layu.
➢ Rapasan Sundun
➢ Rapasan di baba gandang
Dari gambaran secara singkat tentang tingkatan upacara Rambu Solo’
dalam masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial
seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo’
yang mesti dilakukan atas perintah aluk.
4. SIMBOL-SIMBOL UPACARA RAMBU SOLO
Yang dimaksud dengan simbol-simbol Rambu Solo’ di sini adalah pemaknaan
terhadap semua atribut yang digunakan dalam upacara tersebut. Karena
atribut yang digunakan dalam atribut Rambu Solo’ banyak sekali dan tidak
sama untuk semua wilayah adat di Toraja, maka hanya di angkat beberapa
di antaranya yang di anggap penting. Hal-hal yang dimaksud adalah:
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah adat dari satu rumpun keluarga
(marga) dimana persekutuan darah daging dipelihara . Tongkonan adalah
tempat pembinaan dan pemeliharaan aluk. Disamping itu Tongkonan juga
berfungsi sebagai sumber wibawa kepemimpinan. Ia bermakna simbolik
sebagai lembaga kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan sang pendiri juga
keturunan yang dibangun di atas keunggulan, prestise dan privilise
tertentu. Setiap orang harus mengetahui dari tongkonan mana ia berasal,
baik dari pihak ibunya maupun dari pihak ayahnya. Oleh karena tongkonan
mengikat seluruh keluarga, maka bila ada upacara yang dilaksanakan, baik
Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’, maka upacara tersebut harus
dilaksanakan di rumah tongkonan itu dan semua keluarga diharapkan hadir.
Pakaian
Dalam upacara rambu solo’ pakaian yang digunakan adalah pakaian yang
berwarna hitam. Warna hitam adalah simbol kekelaman atau kedukaan. Oleh
karena itu dalam suatu upacara Rambu Solo’ keluarga dan semua orang yang
datang ke tempat itu umumnya menggunakan kain berwarna hitam. Di
samping itu digunakan juga pula pote yaitu tali dari benang berkepang
yang ujungnya berumbai dan pada rumbai itu tercocok manik-manik. Pote
ini dipakai pada keluarga yang sedang maro’. Selain pakaian warna hitam,
digunakan juga pakaian warna merah (lambang kemuliaan) untuk menghias
pondok-pondok atau peti jenasah, khususnya pada upacara rambu kaum
bangsawan menengah ke atas.
Ukiran dan Hiasan-hiasan
Pada
upacara Rambu Solo’ tingkat rapasan, rumah, halaman dan pondok serta
peti jenasah diberi ukiran dan hiasan-hiasan yang semuanya bermakna
melambangkan kebesaran yang meninggal dunia. Hiasan-hiasan dan
ukiran-ukiran yang digunakan dalam Rambu Solo’ dimaksudkan sebagai
pengantar arwah untuk memasuki dunia seberang yaitu puya. Oleh karenea
itu, kesemarakan suasana dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ diyakini
oleh penganut Aluk Todolo sebagai kesempurnaan si mati memasuki puya.
Jadi jelas segala ukiran dan macam hiasan yang digunakan dalam upacara
Rambu Solo’ mempunyai simbol “proyeksi” mesuknya sang arwah ke dunia
seberang sana. Ukiran dan hiasan yang biasa digunakan pada upacara Rambu
Solo’ pada bermacam-macam, namun di sini hanya akan dipaparkan beberapa
di antaranya, yaitu:
- Saringan (palaidura) yaitu usungan mayat yang dibuat dari kayu.
- Langi’-langi’ berbentuk rumah mini Toraja yang dipasangkan
pada saringan (pelengkap saringan) dan bermakna sebagai simbol
kebesaran.
- Duba-duba (lamba-lamba) yaitu kain merah yang
direntangkan panjang-panjang di atas kepala wanita ketika mayat sedang
dalam arak-arakan dari rumah duka ke tempat pelaksanaan upacara
(ma’pasonglo’/ma’palao)
- Lakkean yaitu pondok yang dibuat
ditengah-tengah tempat pelaksanaan upacara sebagai tempat mayat
disemayamkan selama upacara berlansung. Pondok ini dibuat dengan
ketinggian kurang lebih 10 meter dan dilengkapi dengan segala macam
hiasan-hiasan/ ukiran yang melambangkann kebesaran.
- Tombi yaitu kain berukir yang menyerupai panji-panji yang dipasang pada sekitar tempat pelaksanaan upacara.
- Bala’kayan yaitu menara yang dibuat dekat dengan lakkean
yang berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembagian daging dalam
upacara Rambu Solo’
- Simbuang yaitu batu yang berbentuk
lonjong yang diarak dari tempat jauh, dan didirikan di sekitar tempat
pelaksanaan upacara yang selain berfungsi sebagai batu peringatan bagi
si mati sekaligus berfungsi sebagai tempat menambat kerbau yang akan
dikorbankan pada upacara itu.
- Kandaure yaitu perhiasan
dari manik-manik yang dicocok pada benang dan berbentuk corong,
digunakan sebagai pelengkap kebesaran upacara Rambu Solo’ (juga
dipergunakan dalam upacara Rambu Tuka’= pesta kesukaan).
-
Daman yaitu sejenis kertas emas yang dipakai menghias peti jenasah
sebagai pengganti emas, khusus bagi bangsawan menengah ke atas.
-
Lantang (barung) yaitu pondok-pondok yang khusus dibuat untuk
keperluan upacara Rambu Solo’. Apabila pondok itu jumlahnya banyak, maka
tempat pelaksanaan upacara akan menyerupai perkampungan baru.
Kesenian
Dalam upacara Rambu Solo’, kesenian dan tari-tarian mempunyai arti yang
dalam. Jenis kesenian dan tari-tarian yang mempunyai arti yang dalam,
jenis kesenian dan tari-tarian yang dipentaskan dalam upacara Rambu
Solo’, antara lain:
- Baddong yaitu nyanyian yang dilagukan
dalam keadaan berdiri, yang disertai dengan gerakan tangan dan
hentakkan kaki sambil berputar dalam kelompok yang membentuk lingkaran.
- Retteng yaitu nyanyian kedukaan yang dilagukan secara berbalas-balasan oleh dua orang atau lebih
- Dondi’ yaitu nyanyian yang dinyanyikan sekelompok orang secara berbalas-balasan.
- Marraka yaitu nyanyian kedukaan yang diiringi oleh seruling bambu
- Randing yaitu sejenis tarian perang yang disertai dengan
hentakkan kaki dan pekikan suara oleh para penari pria. Randing hanya
dilakukan pada pemakaman seorang lelaki yang dianggap pahlawan
Semua
bentuk kesenian dan tari-tarian tersebut di atas dilakukan untuk
mengekspresikan kedukaan yang mendalam karena kematian. Khususnya dalam
badong, syairnya mengungkapkan sejarah perjalanan hidup bahkan
pernghormatan terakhir pada yang meninggal dunia
Menurut kepercayaan
aluk todolo semua nyanyian dan tarian yang digelar dalam upacara Rambu
Solo’, merupakan proyeksi kemuliaan dari yang meninggal dunia dlam
memasuki dunia seberang sana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tarian dan nyanyian dalam upacara Rambu Solo’, selain merupkan ungkapan
kedukaan dan penghormatan, juga merupakan “Simbol Kemuliaan” arwah
seseorang memasuki dunia arwah.
Tau-Tau (patung)
Tau-tau (tau = orang) ialah patung atau arca yang berfungsi sebagai
personifikasi dan seseorang yang meninggal dunia dan hanya diadakan
dalam tingkat upacara Rambu Solo’ bagi golongan bangsawan menengah ke
atas. Ada dua macam tau-tau atau arca yang dikenal yaitu tau-tau kayu
dan tau-tau karurung
Untuk membuat tau-tau dibutuhkan pemahat
khusus yang dikenal dnegan istilah Topande. Selama proses pembuatan
topande harus tidur dekat atau di bawah kolong rumah jenasah
disemayamkan. Setelah selesai tau-tau tersebut didirikan di dekat peti
jenasah. Ia diperlakukan seperti orang hidup (diberi nasi, pakaian dan
perhiasan). Pakaian dan perhiasan yang dikenakan itu menunjukkan status
sosial si mati. Oleh karena itu, dikatakan Tau-tau adalah The Living
Dead yang karenanya harus dihormati, disembah dan diratapi. Ia lebih
dari sekedar arca biasa hasil karya seorang pemahat. Ia adalah
penjelmaan dari si mati yang selama upacara berfungsi sebagai penghubung
antara ornag yang masih hidup dan kaum keluarga kerabat yan telah
meninggal dunia, dengan kata lain ia berfungsi sebagai pembawa titipan
dari orang yang masih hidup kepada mereka yang telah meninggal dunia.
Jadi dalam Aluk Todolo, Tau-tau mempunyai nilai religius dan sosial.
Rante
Rante (lapangan) adalah tempat penyelenggaraan upacara Rambu
Solo’, khusus bagi kalangan menengah dan ke atas pada tingkatan
dirapa’i. Di tempat ini dibangun sejumlah pondok berantai yang berfungsi
sebagai tempat penginapan selama upacara berlangsung.
Erong
Pada zaman dahulu dalam masyarakat Toraja setiap golongan
bangsawan menengah ke atas yang meninggal dunia dibuat peti jenasah yang
disebut erong. Bentuknya menyerupai perahu yang diukir. Sedangkan untuk
orang-orang merdeka/biasa hanya dibungkus dengan kain yang
berlapis-lapis dan berbentuk bulat lonjong. Dari sini jelas terlihat
bahwa jenis peti jenasah menunjukkan status sosial seseorang dalam
masyarakat Toraja.
Hewan yang dikorbankan
Pemotongan hewan
pada setiap upacara Rambu Solo’ harus didasarkan pada stratifikasi
sosial. Tentang hewan yang dikorbankan dapat dilihat dalam tiga hal:
a. Jenis hewan
Untuk golongan bangsawan, khususnya untuk tingkat upacara (rapasan
sundun ke atas) jenis hewan yang dipotong harus lengkap, yaitu kerbau,
babi, anjing, kuda atau manusia (hambanya). Jadi, dari semua jenis hewan
peliharaan, kecuali ayam dan kucing
b. Jumlah
Tentang banyaknya hewan yang dikorbankan kiranya sudah jelas dalam uraian sebelumnya (dalam tingkatan Rambu Solo’)
c. Tanda-tanda
Dalam setiap upacara Rambu Solo’, hewan yang dikorbankan khususnya
kerbau harus didasarkan pada tanda-tanda. Secara umum kerbau dalam
masyarakat Toraja diklasifikasikan dalam empat kelompok (kelas) sesuai
dengan stratifikasi sosial, yaitu:
- Pudu/Balian.
- Saleko.
- Todi’.
- Sambao
- Sokko
- Pangloli
- Pudu Bara’
- Sambok Ra’tuk
- Lotong Boko .
Masih relevankah Rambu Solo’ beserta segala prasyaratnya pada konteks
sekarang ini, di saat mana sebagian terbesar orang toraja sudah
beragama. Semuanya terpulang kepada kita semua.....
Eddy Papayungan.
(Ref : Dance Gideon Dengak, dan berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar