TO PADA TINDO ; “UNTULAK BUNTUNNA BONE, ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA”
Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’ Allo yg kini kita kenal sbg TORAJA
sejak dulu tidak pernah diperintah oleh seorang Raja atau Penguasa
secara langsung seperti di daerah lain, tetapi Tondok Lepongan Bulan
adalah negeri yang berdiri sendiri dalam bentuk suatu kesatuan atau
rumpun adat dan tata kehidupan suku.
Keadaan yang demikian menyebabkan Kesatuan Negeri Tondok Lepongan Bulan ini sangat mudah dimasuki oleh pengaruh dari luar.
Dalam sejarah Toraja beberapa kali pengaruh luar masuk ke Toraja
terutama ketika kerajaan – kerajaan di sekitar mulai berkembang.
Sekitar abad ke-15, sejumlah pedagang – pedagang barang porselen,
tenunan dan berbagai perhiasan emas masuk ke Tondok Lepongan Bulan.
Mereka melalui daerah selatan dan pedagang pertama yang terkenal adalah
pedagang besar Jawa yang bernama Puang Rade’. Orang inilah yang
mengajari masyarakat Toraja cara menempa emas yang disimpan oleh
bangsawan Toraja, dan mulai saat itu juga emas tdl lagi dijual dalam
bentuk bijih emas (Bulaan Bubuk) tetapi sudah dalam bentuk perhiasan.
Puang Rade’ banyak meninggalkan pengikutnya dan kawin mawin dengan
bangsawan di Toraja yang lana kelamaan turut mengambil peranan dalam
masyarakat. Namun kedatangan pedagang Jawa ini tidak berlangsung lama
karena persaingan dengan pedagang asal Bugis yang memasuki Toraja
setelah mendengar bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas.
Setelah putus hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad
ke-16 maka mulailah pedagang Bugis memasuki daerah Toraja terutama
pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu’ karena mengetahui bahwa
bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan
porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal
Jawa.
Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya
Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang mulai menaklukkan
Kerajaan – Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan
abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan
Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone
ini dikenal dengan “Kasaeanna To Bone”.
Dengan masuknya tentara
Arung Palakka dan pedagang Bugis ini, dan menguasai sebagian besar
Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya, maka ada beberapa sendi
budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain
permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang
telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan
Sire’tekan (Loterei). Judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh
bangsawan di Toraja.
Disamping menanamkan permainan judi tersebut,
pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya
perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang
bangsawan Toraja yaitu Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan
Batu, yang bersekutu membuka tempat – tempat perjudian dan dijaga oleh
pasukan Arung Palakka.
Munculnya Topada Tindo
Dengan
meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila’
Allo yang terus mengadakan arena perjudian, akibatnya mulai terjadi
kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka
dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan
keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu
mematahkan kekuatan Pakila’ Allo.
Ide perlawanan ini muncul dari
seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua’. Untuk maksud ini,
Pong Kalua’ berpura – pura mengawini adik Pakila’ Allo, karena dapat
dengan mudah mengikuti jejak Pakila’ Allo sementara itu ia pun membentuk
persekutuan dengan orang lain untuk membunuh Pakila’ Allo. Hingga suatu
waktu mereka berusaha membunuh Pakila’ Allo, akan tetapi Pakila’ Allo
hanya luka ringan. Kemudian Pong Kalua’ membuatkan obat yang telah
dicampur dengan racun (Ipo), dan ditaruh di atas luka Pakila’ Allo
sehingga Pakila’ Allo tewas seketika. Setelah Pakila’ Allo meninggal,
maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan
Arung Palakka yang tersebar di Toraja.
Persekutuan ini dikenal
dengan nama Topada tindo, tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata,
dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada
dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini
disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang
pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang
masing-masing :
1) Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu
2) Siambe’ Pong Songgo dari Limbu, Sarira
3) Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.
Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka
berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun
1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah
Bambapuang.
Di daerah Bambapuang, seluruh pemimpin dan anggota
Topadatindo mengikrarkan sebuah janji dan sumpah yang disebut Basse
Kasalle :
“Tangla kendek penduan pentallun to Bone la ma’takinan
la’bo’ ma’tetangan mataran, apa mintu’na mataranna sia pabenga’na
lakendek pasiu’ sando pakengke lalipan kedenpi to laullutu tombang
lili’na Tondok Lepongan Bulan dst……”
“Orang – orang Bone tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya untuk memerangi Toraja dst…….”
Dengan selesainya Basse Kasalle Lepongan Bulan, maka kekacauan di
Tondok Lepongan Bulan berakhir dan disebut “Manda’mi salli’na Tondok
Lepongan Bulan, Bintinmi Gonting Babanganna Tana Matarik Allo” artinya
pintu Tondok Lepongan Bulan telah tertutup rapat dari gangguan luar.
Pembacaan ikrar ini diikuti dengan Upacara kemenangan Topadatindo
Tomisa’ pangimpi di Bambapuang. Menurut sejarah seorang Imam Tominaa Ne’
Tikuali dari Ba’tan mengucapkan doa dan sumpah sakti dengan didampingi
oleh Banggai dari Salu.
Sejak berakhirnya peperangan antara
Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun
tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan
Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang
bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang
bernama Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah
tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan
antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini
berbunyi “
“Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”
Artinya :
“Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone
bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak
akan diganggu jika masuk ke Bone”
Pertemuan untuk mengadakan
perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu
daerah yang bernama Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’”
dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung – Arung dari
Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo.
Sejak itu hubungan kedua daerah pulih kembali dan pada awal abad ke-18
pedagang Bugis kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan
Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan
ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa
persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga
mengirimkan anak – anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata –
senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangung sampai
pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh
bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka mulailah terjadi perang saudara dan
penjualoan budak dari yang kuatu ditukar dengan senjata api.
Perang
terjadi dimana – mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa
bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis
sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk
melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli
perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja
dikenal dengan datangnya Ande – Ande Guru di Toraja. Seorang panglima
perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping
seorang dari Sidenreng yang bernama Wa’ Situru’ yang sangat lama
tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Ande Guru”.
Kedatangan pemimpin perang Bugis tersebut adalah dalam rangka perang
Kopi di Toraja sekitar tahun 1889 – 1890 , yaitu perang terbuka antara
pedagang Kopi dari Bugis Sidenreng dan Sawitto melawan pedagang dari
Luwu’ dimana masing-masing bersekutu dengan bangsawan di Toraja. Setelah
Perang Kopi berakhir tanpa ada yang dinyatakan kalah, sebagian Ande
Guru kembali termasuk Petta Punggawae dan ada yang tinggal mengikuti
perang saudara termasuk Wa’ Situru’ bahkan ada yang kemudian menikah
dengan bangsawan Toraja. Perang saudara yang tiada henti – hentinya ini
berlangsung sampai masuknya tentara kolonial Belanda pada tahun 1906 dan
bermarkas di Rantepao pada bulan Maret 1906.
(Referensi : dari berbagai sumber)....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar